Ortu gue orang kaya, tapi bagi gue, gue itu orang
yang gak berpunya. Karena kan, itu harta mereka, dan gue gak mau bertumpu pada
mereka. Gue pengen hidup mandiri, gue bisa kok hidup dengan usaha gue sendiri.
Oke mas bro dan mba bro, kita mulai dengan lembaran kehidupan gue.
Gue berumur 19 tahun. Dan gue udah punya ijazah SMK,
dan sejak tamat SMK, gue mulai hidup mandiri, gue ninggalin kota yang sumpek
dengan kejahatan, dan gue bisa bernafas lega disini. Gue enggak ngelanjutin
kuliah, bagi gue, gue bisa belajar banyak kok dari pekerjaan gue ini. “Gue
seneng bisa jadi pemandu wisata disitus bersejarah ini” Tekad gue waktu itu.
Kata orang, gue tuh orangnya konyol, trus keras
kepala, ya iyalah…. Di mana- mana, kepala itu keras, kalo lembek bukan kepala….
Iyah gak? Oh iyah, orang bilang sih, aku deso, biarin lah, dipanggil deso juga,
yang penting muka gue gak deso. Dan asal tau aja yah, lebih baik deso daripada
kampung, iyah gak? Atau sama aja? Sama- sama kamseupay? Ah, bodo amat, yang
penting gue masih bisa hidup.
“Jaya, besok akan ada wisatawan luar negeri datang
ke sini! Kamu siap- siap yah pergunakan bahasa Inggris kamu,” perintah bos,
ngagetin lamunan gue.
“Sip bos!” ucap gue enteng.
Bos pun pergi, dan… “Krining
krining… krining krining”, suara handphone gue bunyi. Ternyata nyokap gue nelephone.
“Sanjaya, apa kabar?” tanyanya.
“Baik, Ayah dan Ibu bagaimana?”
tanyaku, eh, kok aku, gue kali, ah, apa aja deh yang
penting oke…. Iya gak sih?
“What? Ayah? Ibu?” tanyanya.
“Iyah… Ini Ibu kan?” tanya gue bingung.
“Don’t called Ibu and Ayah…. Because, it’s
Kamseupay, You know?” ucapnya.
“Ok, I’m understand….Mam” ucap gue.
(Pasti aja kayak gini, gak boleh panggil Ibu dan
Bapak) Omel gue dalam hati.
“Eh, selama kamu di Desa, gak ada yang usil sama
kamu?” ucap Ibu, eh Mamih.
“Enggak kok…. Mih,” ucap gue.
“Kalo ada yang usil sama kamu, ngomong aja sama
Mamih, waktu muda dulu, Mamih jago Taekwondo lho, makanya, kalo kamu ada yang
ngejahilin…. Hmm, berurusan sama Mamih,” ucapnya.
(Jago Taekwondo? Waktu muda? Yah sih, waktu muda!
Tapi sekarang? Liat tikus aja takutnya…. Selangit) Ucapku dalam hati.
“Apa kamu bilang?” tanya Mamih.
“Apa Mih?” tanyaku kebingungan.
“Tadi kamu ngeremehin Mamih yah…. Tadi kamu bilang,
Mamih hanya bisa taekwondo waktu muda dulu, sekarang Mamih penakut, liat tikus
aja takut! Itu kan katamu tadi?”
ucapnya.
(Hah? Jadi Mamih tahu, apa yang kata hatiku bilang….
AMAZING…. Mungkin, karena ada ikatan batin kali yah) Ucapku.
“Euh…. Nggak kok Mih, Mamih itu hebat luar biasa,”
ucapku.
“Oh iya, kata Mamih tadi, kalo ada yang macem- macem
sama kamu…. Bilang Mamih yah!” ucapnya.
“Tapi Mih, aku itu kan udah dewasa, bukan anak kecil
lagi, terus aku kan cowok, pasti bisa ngejaga diri” ucap gue.
“Ya sudahlah kalo kayak gitu, Mamih transfer uang
buat kamu bekal, pasti dompet kamu udah tipis donk?” tanya Mamih.
(Mamih tau aja, kalo dompetku udah tipis)
“Hmm…. Mih, memang dompet aku udah tipis, tapi lebih
baik kalo Mamih nggak transfer uangnya, aku pengen hidup mandiri Mih!” ucap
gue.
“Iyah, tapi kalo kamu kepepet terus ngutang sana-
sini, gimana? Rempong Nak!” ucap Mamih
“Aku memang sering kepepet Mih, tapi nggak sampe
ngutang kok Mih!. Aku lebih baik nggak makan, daripada ngutang,” ucap gue.
“Kalo kamu nggak makan, nanti kamu kurus, trus, kalo
kamu kurus, ntar kamu nggak laku donk,” ucap Mamih.
“Apa Mih? Nggak laku? Emangnya aku jadi pajangan,
trus dijual, gituh? Udah deh Mih, sekarang Mamih urusin aja urusan Mamih.
Jangan pikirin aku. Dan aku pasti akan pulang membawa kesuksesan, Percaya deh
Mih!” ucap gue.
“Tapi,” ucapnya.
“Oh iya Mih, satu hal lagi, uang yang akan Mamih
transfer, ambil aja buat Mamih, lumayan buat beli kosmetik yang mahal, supaya
Mamih keliatan Cantik setiap hari, sepanjang masa…. Ok Mih? Bye!” ucap gue
sambil menutup telephone dari Mamih.
Setelah selesai ngobrol sama Mamih melalui
telephone, tiba- tiba pak Bos datang.
“Kamu terlihat pusing bin bingung Jay,” ucap Bos
“Banget Pak,” ucap gue sambil duduk dibawah pohon
yang rindang.
“Kenapa? Cerita donk sama Bapak!” pintanya.
“Susah Pak!” kata gue.
“Susah apanya? Cerita aja sama Bapak!” katanya.
“Jadi gini pak, eh bos…. Ibu aku yang ada di
Jakarta, masih manja- manjain aku. Padahal kan, aku tuh udah dewasa. Masih....
aja dimanjain kayak anak kecil,” keluh gue.
Tetapi, mendengar penjelasanku yang sedikit panjang
lebar itu, si Bos malah ketawa.
“Kok Bos malah ketawa sich?” tanya gue kebingungan.
“Yah bagus donk, berarti ibu kamu masih peduli sama
kamu,” ujarnya sambil sedikit ketawa.
“Yah, enggak kayak gitu juga kali,” ucap gue.
“Anak semata wayang?” tanyanya.
“Yo’I bos, tapi gue bingung dan musti nurutin semua
keinginan nyokap gue. Gue dimanjain kayak cewek. Sekalian aja, gue di daftarin
jadi MISS UNIVERSE,” omel gue.
Setelah aku, eh GUE, berwara- wiri sama si Bos. Si
Bos malah ketawa. Mungkin, gara- gara aku ngomong “Miss Universe”. Hahaha,
jujur aja, aku juga pengen ketawa. Tapi, dalam hati aja yah. Kata si Bos juga,
aku agak konyol. Tapi, biarlah, yang penting asyik…. Iya gak sich?
Keesokan harinya, matahari belum nongol, ayam belum
berkokok, alarm pun belum berbunyi, tapi gue udah bangun dan berpakaian rapi,
layaknya orang yang mau nikah. Eits, tapi tunggu dulu, kan gue mau mandu
wisatawan bule, jadi gue musti rapi, bersih, dan mengkilat. Hahaha, dikira gue
ini piring kali. Yah…. Walaupun ini bukan kali pertamanya gue mandu wisata bule,
tapi, yah…. Semoga aja ada bule cantik. Iya gak sich? Hehe, namanya juga usaha,
Iya gak?
Setelah gue udah dandan rapi, dan sarapan dengan
perut kenyang, gue langsung keluar dari kontrakan gue.
Setiba di Candi Cangkuang, tempat gue kerja, tiba-
tiba….
“Rapi amat dandananmu hari ini, kalo liat kamu rapi
amat kayak gini, kamu mirip Raffi Ahmad dech, yang artis itu lho!” ucap Bos.
“Bos bisa aja!” ucap gue sambil tersipu malu.
“Eh, bisa- bisa kamu menang di “Miss Universe”!”
ucap Bos sambil tertawa.
“Bos, sekalian aja, “Miss Indonesia”, terus “Miss
Cangkuang”, sekalian “Miss Rempong”,” ucap gue.
“Muka mu kok kusut sich? Jangan gitu donk, nanti
bedakmu luntur” Ucap Bos.
“Bos menghina yah? Aku jarang pake bedak! Nanti
cucok donk! Ogah ah…. Ngelanggar takdir donk, kalo aku kayak gitu” Ucap gue.
“Ya udah lah! Tuh liat, ada bule! Kerja dulu sana,
ada bule cantik tuh!” suruh pak Bos.
Aku, eh gue pun menghampiri si bule. Yah…. ternyata,
bukan bule cakep, umurnya juga, keliatannya antara 30 tahunan lah. Tapi, pelanggan
adalah raja. Jadi, harus tetap ngelayani donk.
“Hi Miss” ucap gue
“Hello, what is your name?”
Tanyanya. SKSD (So Kenal,So Dekat) juga nih bule.
Tapi, bagus lah, ramah…. Hehe
“Mm.. My name is Sanjaya Wijaya, but, call me is
Jaya, and you?” tanyaku
“Oh, my name is Christy Agustin. I live in
Washington DC. You?” tanyanya.
“I live in Jakarta, You know Jakarta?” tanyaku
“Yes, I know, Monas?” tanyanya.
“Very Good!” puji gue
“ Can you explain the
historic sites
here?” tanyanya
“Sure. because, I
was a tour guide
here!” ucap gue.
Akhirnya, setelah
berbincang- bincang dengan si Bule tadi, saatnya untuk menjelaskan pada si Bule
tadi, tentang Candi Cangkuang ini.
Setelah gue menjelaskan
pada si bule, tiba- tiba….
“You masih school?”
tanyanya.
(Hah, bule ini bisa ngomong
bahasa Indonesia? Kenapa nggak dari tadi sih? Gue jadi bingung tahu!) hati gue
bertanya- tanya.
“Tidak, saya sudah
keluar! Eh, Miss bisa speaking Indonesian?” Tanya gue.
“Bisa, coz, I’m udah
pernah kuliah di jurusan bahasa Indonesia. And tadi, aku hanya ngetest you
saja” Ucap dia sambil tersenyum.
“Kamu mau nggak, kuliah
di Amerika Serikat?” tawarnya.
“Kalau kuliah sih mau,
tapi, aku nyari biaya dulu, dan aku kerja dulu di sini!” ucap gue.
“Kamu dapet beasiswa!”
ucapnya sontak.
Awalnya, gue gak percaya,
tapi…
“You gak percaya? Ini
kartu nama saya,” ucapnya meyakinkan.
Dia pun mengeluarkan kartu namanya, dan
ternyata, bule itu adalah guru besar di USA. Dan dia langsung memberikan cek
dan sejumlah uang tunai buat aku. Yah… ini beasiswanya, katanya.
“Sanjaya, oh…. I’m
sorry, maksud aku, Jaya, kamu mau gak, kuliah di salahsatu Universitas di USA
sana? Dan, aku juga disana berperan jadi Dosen jurusan Sastra. So, kamu bisa
jadi murid saya,” tawarnya lagi.
“Penawaran yang bagus
sekali. Tapi, sebetulnya, saya juga mau kuliah di sana, tapi, saya harus
berpamitan terlebih dahulu kepada Bos Saya, My Parents, orang- orang yang aku
cintai, dan candi yang selama ini aku bangga- banggakan. Sedangkan untuk
berpamitan, membutuhkan waktu. Dan mungkin waktu anda untuk tinggal di
Indonesia hanya sedikit” jelas gue.
“Siapa bilang waktu
saya di Indonesia sedikit? I have a long time…. Dan, jika kamu mau pulang ke
Jakarta, don’t forget, ajak saya…. Ok? Biar saya bisa melihat Monas!” ucapnya.
Keesokan harinya….
“Bos, aku akan pergi
tuk mencari ilmu di Amrik. Dan, asal bos tau, selama aku hidup di sini, bos
adalah orang yang selalu ada buat aku, bos menganggapku seperti anak sendiri,
dan aku juga menganggap bos menjadi ayah angkatku sendiri. Terima kasih bos,
selama ini…. Hidupku telah berwarna berkat kau,” ucapku
“Apa- apaan kau ini,
jangan seperti di sinetron lah…. Jangan nangis lah, kalau kau nangis, aku juga
,pengen nangis aja…. Eh tapi, laki- laki itu harus macho. Jika kamu masih mewek
aja, ntar aku daftarin ke “Miss Universe”. Mau?” tanya Bos sambil sedikit
ketawa.
Suasana yang tadinya
tegang menjadi humoris dan menyenangkan. Memberikan kenangan hangat yang
tersisa. Dan jika aku meninggalkan bos dan lingkungan Candi Cangkuang, terasa
kedamaian yang terasa. Dan, tidak terasa berat untuk meninggalkan semuanya.
“Nak, sebelum kamu
meninggalkan bapak dan orang- orang yang kamu cintai, bapak mempunyai kenang-
kenangan untukmu,”
ucap Bos sambil memberikan sesuatu seperti
gelang.
“Makasih pak!” ucapku
sambil mengelap air mata yang jatuh dipipi ini.
Season berpelukan
antara gue sama pak Bos.
Setelah berpamitan, aku
langsung bermaksud pergi ke Jakarta untuk berpamitan ke keluarga aku, terutama
Mamih dan Papih aku.
“Mih, sekarang aku
dapet beasiswa dari dosen aku ini. Aku bisa berkuliah di Amrik Mih,” ucapku
bangga
“Ya sudah Mih, sekarang
Mamih jangan panggil aku Deso yah…. Soalnya aku bisa ngebuktiin bahwa aku
bisa,” ucapku
Dan akhirnya, aku go to
rumahku yang baru di Amerika. Bisa ketemu pak Obama, dan mengenyam pendidikan
di sana. Budaya dan tradisi yang aku pelajari waktu di Cangkuang, masih melekat
kuat di dalam darah dagingku sendiri. Dan tradisi serta budaya Negeri tercinta
ini, akan selalu mengalir didarah ini.
Terima kasih atas
budaya yang kau berikan, pak Bos…
I’m coming America!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar