“Sanggar
Tari Jaipong”. Kalimat itu terpampang
besar di sebuah papan di depan bangunan yang memiliki sejarah tertentu.
Di dalamnya terdapat remaja puteri dan seorang guru tari. Remaja- remaja puteri
itu merupakan siswi “Sanggar Tari Jaipong”. Dan jumlahnya pun hanya bisa
dihitung dengan jari. Mungkin, sangat sedikitnya minat untuk melestarikan
budaya kita bukan?
Salah seorang siswi dari sanggar
tari tersebut adalah Ratih Dwi Ayu, atau, lebih akrab disapa TIWI. Tiwi adalah
sosok remaja yang sangat cinta tradisi dan kebudayaan di sekitarnya. Termasuk
tari Jaipong, yang merupakan tarian tradisional asli dari Jawa Barat, yang
mungkin sudah dipandang sebelah mata oleh remaja sekarang. Ok, back to Tiwi,
Tiwi berusia 13 tahun. Lahir dari keluarga yang sederhana. Dan, Ayah Ibunya
sudah meninggal dunia, sejak ia berusia 9 tahun, mereka meninggal karena
kecelakaan. Dan sekarang, dia tinggal bersama Neneknya. Baginya, Neneknya lah
segalanya, dan selain menyukai tari Jaipong itu, dimotivasi oleh dirinya
sendiri, Neneknya juga ikut memotivasi dan mendukung minat cucunya itu.
Salah satu nikmat yang diterima
Tiwi, adalah bisa bersekolah di sekolah yang elite. Yah.. karena Tiwi termasuk
anak yang rajin dan pintar. Otomatis donk, pemerintah dan dermawan juga mau
mengulurkan dan memberikan bantuan kepada Tiwi.
“SMP International Students”, itulah
nama sekolah Tiwi. Dan bagi Tiwi, Sanggar Tari Jaipong merupakan sekolah kedua
Tiwi. Karena, sekolah Sanggar merupakan sekolah untuk mengembangkan bakat dan
potensi yang dimilikinya. Akan tetapi, bagi Tiwi, keduanya sangat baik dan
bagus kok, dan bisa juga mencari pengalaman supaya tidak jatuh di lubang yang sama. Dan baginya,
pengalaman adalah guru yang paling berharga.
Sebagaimana biasanya, pagi- pagi
sampai siang, Tiwi bersekolah di SMP International Students, dan siang hari
sampai sore hari, Tiwi belajar di Sanggar Tari Jaipong.
Pagi- pagi buta, mentari pun belum memancarkan sinarnya, tetapi hal itu
tidak menjadi penghalang untuk Tiwi membantu- bantu Neneknya dan belajar.
“Neng teh teu cape, babantos Emak?”
tanya Neneknya dalam bahasa sunda, bahasa tradisi lingkungan Tiwi. Dan dalam
bahasa sunda, Emak itu artinya Nenek. Dan panggilan untuk anak perempuan adalah
Neng.
“Oh, enggak kok Mak, neng teh teu cape,” ucap Tiwi
sambil memberikan senyuman kepada Neneknya.
“ Sing sabar nya, geulis, kaayaan Emak teh jiga kieu,” sambung Neneknya dengan logat
sunda yang masih kental.
Yo wis lah, aku translate yah, jadi artinya adalah :
Yang sabar yah cantik, keadaan Nenek kayak gini. Yah, kurang lebih kayak gituh
deh..
“Henteu nanaon atuh Mak! tos janten kawajiban Tiwi,”
ucap Tiwi, dan senyumannya tak kan luntur.
“Ya udah,
sekarang mah mandi dulu atuh,” suruh Emaknya, eh maksudnya Neneknya.
Tiwi pun langsung menuruti kata
Neneknya. Dia langsung beranjak pergi ke kamar mandi. Setelah selesai mandi,
dan berpakaian, Tiwi langsung berpamitan kepada Neneknya untuk pergi ke
sekolah.
“Mak, Tiwi teh berangkat ke Sekolah
dulu atuh nya,” ucap Tiwi sambil mencium tangan Neneknya.
“Henteu makan dulu?” tanya Neneknya.
Tiwi hanya terdiam membisu.
“Mmm.. udah
kok Mak! Tiwi teh entos makan,” ucap Tiwi.
Padahal dalam hatinya, dia belum sarapan. Dia tahu,
di rumahnya hanya ada singkong rebus sisa semalam. Dan itu untuk Neneknya saja,
karena Tiwi merasa kasihan terhadap Neneknya.
“ Neng, di meja
teh ada singkong rebus. Emak ambilkan atuh yah. Untuk bekal sekolahmu nanti,”
ucap Neneknya mengaburkan lamunan Tiwi.
“Mmm.. anu Mak..” ucap Tiwi gugup.
“ Anu apa Neng?
Udah, Emak ambilkan dulu yah!” ucap Nenek sambil berjalan menuju dapur.
Neneknya pun kembali, keluar rumah
sambil membawakan singkong rebus.
“ Ini
Nak!” ucap Neneknya, sambil memberikan
singkong rebus yang hanya dibungkus plastik.
“Oh iyah, ini
teh ada sedikit uang, untuk jajanmu nanti,” sambung Nenek, sambil memberikan
uang sebesar Rp. 5000,- .
Tiwi ingin menolaknya, karena ia tahu keadaan
ekonomi Neneknya sedang krisis. Tetapi, Neneknya memaksa.
“Baiklah,
jika Emak memaksa. Hatur nuhun atuh Mak!” ucap Tiwi.
“Assalamu’alaikum,” salam Tiwi.
“ Wa’alaikum
salam,” jawab Nenek.
Setiap berangkat ke sekolah, Tiwi
selalu berjalan kaki. Walaupun, jarak sekolah dengan rumahnya agak jauh.
Setiba di sekolah, gerbang sekolah
akan ditutup, untung saja Tiwi langsung masuk. Tiwi langsung masuk ke kelasnya.
Kelas Tiwi adalah kelas VIII A. Yah…. Termasuk kelas favorit bin unggulan sich.
“Ya Allah, aku lupa, sekarang ‘kan hari Senin, aku
lupa bawa topi, bisa- bisa di razia nih,” gumamnya.
Tiwi langsung menyimpan tas. Memang bukan tas sich,
melainkan hanya kantung kresek berwarna biru. Setelah Tiwi menyimpan “Tas”nya,
dia langsung pergi ke lapangan untuk mengikuti upacara bendera.
Seusai beres upacara bendera, Tiwi
diberi skorsing oleh guru kesiswaan. Karena selain Tiwi tidak membawa dan
memakai topi, Tiwi juga telat datang ke lapangan Upacara. Kasian juga yah.
Setelah selesai diberikan skorsing,
Tiwi langsung masuk kelas.
“Kenapa kamu
telat?” tanya seorang guru yang sedang
mengajar di kelasnya.
“ Maa.. ma.. maaf bu.. tadi saya,” ucap Tiwi gugup.
“Cukup Tiwi, sekarang cepat masuk kelas. Jangan
mengulangnya lagi yah!” tegas guru tadi.
“Ya bu,” ucap Tiwi sambil menunduk.
“Huuuhhh…. Dasar kamseupay,” ucap Elfria.
Akan
tetapi, Pelajaran pun seperti cepat selesai.
Bel istirahat pun berbunyi, dan
siswa- siswi langsung berhamburan keluar kelas. Saat Tiwi mau membuka bekalnya
tadi, singkong rebus yang diberi Neneknya tadi pagi.
“Hey Kamseupay!!” ucap seseorang dari belakang.
Tiwi langsung membalikkan badannya.
Ternyata yang memanggil “Kamseupay” tadi adalah Elfria. Eh ternyata, bukan
hanya Elfria di sana juga terdapat Prisil. Yah…. Sahabat Elfria juga.
Mereka berdua menghampiri Tiwi,
“ Hey Kamseupay …. Apaan nih!” ucap
Elfria sambil memegang singkong rebus Tiwi dengan perasaan jijik.
“ Ih.. Apaan Nih.. Gak level banget,” ucap Elfria
sambil membuang singkong itu.
“Elfria Jangan!!” pinta Tiwi.
“Heh loe inget yah KAMSEUPAY…. Ini itu sekolah
elite, masa sih, harus bawa makanan
primitive kayak gitu, kamseupay banget!!” ujar Elfria.
“Tapi El….” ucap Tiwi.
“Apa Kamseupay?? Hah, apa??” tukas Elfria.
“ Eh, daripada kita ngobrol sama orang yang gak
penting kayak gini, mendingan cabut aja yuk, beli makanan yang lebih baik dari
ini…. So pasti, yang elite!” ujar Elfria.
Mereka berdua langsung pergi ke kantin. Tiwi pun
hanya bisa mengelus dada. Ini bukan kali pertamanya, Tiwi diejek, tetapi
sering, malah, setiap hari Tiwi diejek oleh Elfria. Tetapi, Tiwi tidak
menganggap mereka musuh kok!
Bel masuk pun berbunyi, Tiba- tiba…
“ Kamseupay, loe di panggil pak
Kepsek tuh.. rasain loe.. pasti loe
bakalan dimarahin, terus dikeluarin dari sekolah ini.. hahaha, rasain loe..
Mamam ajah, haha,” ucap Elfria kepada Tiwi.
Tiwi langsung
beranjak pergi menuju ke ruang pak Kepala Sekolah. Sepanjang jalan menuju ruang
pak Kepala Sekolah, Tiwi bertanya- tanya dalam hati, dan dia takut, omongan
Elfria benar.
Setiba di ruangan pak Kepala
Sekolah, Tiwi disuruh duduk di kursi empuk di ruangan itu. Ruangan yang cukup
megah dengan udara sejuk yang diproduksi AC, pewangi ruangan yang harum, kursi-
kursi yang empuk, penataan buku- buku yang rapi dalam lemari kaca yang bersih,
ah.. perfecto deh pokoknya..
Ternyata, maksud Pak Kepsek
memanggil Tiwi, karena ada festival tari tradisional. Tetapi, baru Tiwi saja
yang Pak Kepsek dapatkan. Sedangkan kriterianya, harus 2 orang. Pak Kepsek
bermaksud untuk melombakan Tiwi dan Elfria. Dan akhirnya, Tiwi disuruh untuk
memanggil Elfria.
Suasana di kelas sedang ricuh.
Setelah Tiwi tiba di kelas, baru saja dia berdiri di depan pintu, Tiwi langsung
terkena lemparan penghapus papan tulis yang dilemparkan anak- anak. Yah, kasian
yah…. Apalagi keningnya langsung merah dan ada darah keluar dari keningnya.
Tiwi merintih kesakitan, tapi, tak ada seorang pun yang mempedulikannya. Hanya
Prisil, melihat kejadian itu, merasa iba, tapi, apa yang harus dilakukannya,
Prisil tak tahu harus berbuat apa, karena, kalau dia membantu Tiwi, pasti
Elfria akan marah.
“El, kamu dipanggil Pak Kepala
Sekolah,” ucap Tiwi sambil memegang keningnya yang berdarah.
“Trus, Masalah buat loe?” tanya
Elfria.
“Nggak El, aku cuma disuruh sama Pak Kepala Sekolah
buat manggil kamu, kalo kamu gak datang menemui pak Kepala Sekolah, kamu bisa-
bisa dimarahi,” ucap Tiwi.
“Oh…. Loe berani ngatur hidup gue yah?” ucap Elfria.
“Udah lah El, pergi aja kenapa sih…. hal kayak gini
dipermasalahin,” ucap Prisil.
Akhirnya,
Elfria pun pergi ke ruang pak Kepala Sekolah.
Setelah memenuhi panggilan Pak
Kepala Sekolah, Elfria datang ke kelas dengan wajah yang cemberut.
“Kenapa?” tanya Prisil.
“Gak salah apa? Masa sih, pak Kepala Sekolah, nyuruh
gue buat ikutan lomba tari tarian tradisional. Apa gak ada yang lebih keren,
kaya dancer, atau bikin girl band? Ini, harus tarian tradisional, apalagi harus
latihan bareng si Kamseupay ini,”
ucap Elfria
sambil menunjuk Tiwi.
“Ih, ogah banget, kamseupay kuadrat tau,” ucap
Elfria sambil menggebrak meja Tiwi.
“Bagus donk El, berarti loe dipercaya oleh pak
Kepsek,” ucap Prisil.
“Trus, gue harus bilang WAW gituh?” tanya Elfria
dengan angkuhnya.
Sahabatnya itu tak menghiraukan
perkataan angkuh yang telah dilontarkan Elfria tadi. Prisil malah meninggalkan
Elfria.
“ Heh, loe itu kan sahabat gue,
kenapa loe gitu sama gue?” tanya Elfria kebingungan.
“Heh, asal loe inget aja yah, memang dulu kita
sahabatan, tapi itu DULU, waktu loe masih baik, nggak sombong kayak sekarang
ini. Dan sekarang, aku gak mau temenan,
apalagi sahabatan sama orang yang sombong, keras kepala, gak bersyukur, dan gak
mau mencintai kebudayaannya sendiri,” ucap Prisil.
“Ok, find…. No problem, masih banyak kok yang masih
mau temenan gue!” tegas Elfria.
“Apa? Masih ada, katamu? Jangan harap yah!” ucap
Prisil.
“Heh, gue nyesel yah, temenan dan sahabatan sama
orang kamseupay kaya loe,”
ucap
Elfria.
Sahabatnya, eh maksudnya, mantan sahabatnya itu,
langsung pergi, tak menghiraukan kata- kata yang dilontarkan oleh Elfria tadi.
Sore harinya, Elfria terpaksa belajar di Sanggar
Tari Jaipong. Di sana ada Tiwi, dan, hah…. Prisil?
“Kenapa si Prisil ada di sini? Dasar anak yang suka
ikut- ikutan,” fikirnya.
Ternyata, mereka sedang latihan tari Jaipong.
Elfria pun langsung menghampiri
mereka.
“Kenapa loe kesini?” tanya Elfria ke
Prisil.
“ Karena katanya, Prisil itu mau
latihan menari Jaipong,” ucap Tiwi.
“Woy kamseupay, Gue gak tanya loe
yah…. Gue tanya Prisil,” ucap Elfria.
“Loe nanya apaan?” tanya Prisil.
“Gue tanya, Kenapa loe kesini?”
tanya Elfria.
“Emangnya kenapa? Masalah buat loe?”
tanya Prisil.
“Hey Parasit,” ucap Elfria sambil
menunjuk Prisil.
“ Woy, Gue terima yah, kalo loe manggil gue parasit,
tapi, asal loe tau aja, gue gak suka kalo loe pake nunjuk- nunjuk gue. Itu sama
aja kalo loe gak ngehargain gue…. Paham loe?”
ucap Prisil.
“Oh, jadi loe mau dihargain? Nih,” ucap Elfria
sambil memberikan uang Rp.50.000,-
“Heh, makin lama, makin nyebelin yah,”
ucap Prisil sambil mendorong badan Elfria, sampai
Elfria terjatuh.
Daripada makin lama, mereka membuat kegaduhan,
untung saja, Tiwi langsung memisahkan mereka berdua.
“Sil, udah lah…. Malu tau, dilihatin orang,” ucap
Tiwi sambil memisahkan mereka berdua.
Akhirnya, Prisil pun mau menuruti kata Tiwi. Tiwi
dan Prisil pun langsung meninggalkan Elfria.
“Dasar Tomcat….” ucap Prisil sambil meledek kearah Elfria.
“Dasar Tomcat….” ucap Prisil sambil meledek kearah Elfria.
“Udah lah Sil,” ucap Tiwi.
“Tunggu pembalasan gue, Kamseupay kuadrat,” ancam Elfria sambil mencoba untuk berdiri.
“Prisil, kok kamu tega sich sama sahabatmu sendiri?”
tanya Tiwi.
“ Sahabat? Kamu bilang sahabat? Kita udah gak
sahabatan lagi!” ucap Prisil.
“ Sejak Kapan?” tanya Tiwi.
“ Tadi,” jawab Prisil singkat.
“Alasannya?” tanya Tiwi lagi.
“Coba aja kamu bayangin, selama gue “SAHABATAN” sama
El, gue sama sekali nggak dihargain, tapi gue coba tuk terima, mungkin ini
hanya sekali. Tetapi, gue sering sakit hati sama tingkahnya itu, dan gue
ngerasa gue bukan sahabatnya, melainkan gue itu babunya dia. Kurang asem banget
tuh orang,” jelas Prisil.
“Dan asal kamu tau, El itu benci banget sama kamu.
Dan dulu, gue juga benci ama loe, tapi itu dulu, sekarang kita udah temenan,”
ucap Prisil.
“Tapi Sil, disekolah kita itu bukan mencari musuh,
iya kan?” tanya Tiwi.
“Iya sih,” ucap Prisil.
“Ya udah, sekarang kita latihan tari lagi yuk!” ajak
Tiwi.
Mereka, dan anak- anak Sanggar, termasuk Elfria ikut
menari Jaipong. Gerakan tari Elfria masih kaku.
“Andai saja, ada tempat yang lebih elite dibanding
ini, pasti, gue gak akan ketemu sama wajah- wajah kamseupay ini,” keluh Elfria
dalam hati.
Keesokan harinya, matahari cerah sekali. Tapi, hati
Elfria tak secerah mentari hari ini. Dia terlihat murung, lesu, and tak
bergairah. Eh, kayaknya, dia lagi galau dech…. Hah galau? Bukan galau karena
cinta, tapi persahabatan. Soalnya, dia gak ada temen. Suruh siapa keras kepala,
sombong, dan gak tahu budaya? Akibatnya, tak ada temen toh?
“Kok gue ngerasa gini sih?” tanyanya dalam hati.
“El, kenapa kamu murung? Aku temenin yah!” tawar
Tiwi.
“Gak usah!” tolak Elfria sontak.
“Loe emang keras kepala yah, El,” ucap Prisil.
“Tapi gue gak punya temen, dan gue sadar, apa itu
arti sahabat,” ucap Elfria.
“Justru itu, loe harus bisa ngerubahnya,” ucap
Prisil.
“Dan satu hal lagi, pintu persahabatan kita, terbuka
lebar kok, untuk nerima kamu,”
sambung Tiwi sambil tersenyum kearah Elfria.
Melihat
kejadian itu, Prisil langsung tersenyum sambil mengacungi jempol kepada Tiwi.
Akhirnya, mereka pun bersahabat dan selalu Together.
And selamanya, alias Forever…. Hehehe. Sampai- sampai, lomba yang Tiwi dan
Elfria ikuti menang, karena mereka selalu giat belajar tari jaipong…. Horeee!!
Makanya, janganlah kita melupakan tradisi dan budaya
kita, karena budaya sangat berpengaruh terhadap kehidupan kita, dan kita
belajar banyak tentang tradisi dan kebudayaan, seperti budaya melarang kita
untuk bersikap sombong terhadap sesama. Jika kita jauh dari budaya, kita akan
seperti Elfria…. Iya gak sich?
Coz, budayaku, budayamu, budaya kita semua.
So, kita harus bisa
melestarikannya…. Eits, pasti bisa.
But,
jangan sampai di zaman modern ini, kita lupa akan budaya kita. Yaps, jangan
sampai gitu donk! Iya gak sich?
Makanya, lestarikanlah budaya kita, jika bukan oleh
kita, oleh siapa?
Jagalah budaya kita, jangan sampai dicuri oleh
Negara lain untuk yang kedua kalinya!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar